You must have JavaScript enabled in order to use this theme. Please enable JavaScript and then reload this page in order to continue.
Loading...
Logo Desa Poto
Desa Poto

Kec. Moyo Hilir, Kab. Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat

BANGKIT BERSAMA MENUJU DESA MANDIRI DAN RELIGIUS

SADEKA PONAN SEBAGAI UPACARA ADAT

Administrator 26 Agustus 2016 Dibaca 44 Kali

 

  Sejarah dan Latar Belakang

      Di kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa, ada sub wilayah yang bernama Bekat. Letaknya melingkupi dusun Melili di wilayah desa Berare, dusun Lengas dan dusun Poto di wilayah desa Poto. Nama Bekat sekarang ini melekat sebagai nama administrasi bagi dusun Lengas di Desa Poto.

      Masyarakat ketiga dusun tersebut memiliki nenek moyang dan asal-usul yang sama. Zaman dulu sebelum mereka membangun tiga dusun tersebut (Poto Lengas dan Melili), desa asalnya bernama Bekat terletak di tengah persawahan Orong-Rea. Orong-Rea menghampar seluas lebih 1000 Ha mulai dari bukit Berare di sebelah selatan sampai ke Brang-Panemung di desa Pungkit di sebelah utara. Sedangkan sebelah barat dan timurnya dialiri oleh sungai yang bertemu di Brang-Panemung. Lokasi Orong-Rea ini berada di atas Tana-ela  (Tanah-lidah) mirip delta.

      Wilayah Bekat itu persis berada di tengah hamparan persawahan tersebut, ditandai oleh bukit pekuburan tua yang bernama bukit Ponan. Di bukit Ponan itulah makam para leluhur orang-orang Bekat. Sekitar 300 m di sebelah tenggara bukit Ponan ditandai sebagai bekas desa Bekat, sehingga lokasi tersebut disebut Bekat Loka (Bekat Tua), yang kini seluruhnya sudah menjadi sawah yang subur.

      Ada tiga alasan pokok mengapa mereka berpisah membentuk pemukiman baru di dusun Melili, Lengas dan Poto adalah:

  1. Penduduk semakin bertambah, sementara lahan pemukiman sudah menyempit, agar tidak merusak persawahan yang telah ada.
  2. Mendekatkan diri pada lahan-lahan garapannya
  3. Menghindari bahaya banjir yang hampir setiap tahun meluap ke Bekat Loka.

Berdasarkan alasan tersebut sehingga saat ini dusun Poto dan Lengas menempati aliran sungai di kaki bukit Langko sebelah barat persawahan, sedangkan dusun Melili walaupun masih tetap berada di tengah persawahan, tetapi menempati kaki bukit Melili, sebuah bukit batu cadas di sebelah timur, dekat dengan aliran sungai.

 

Seperti batu tungku tiga-sejarangan, jarak ketiga dusun tersebut dengan bukit Ponan berada di tengah, jaraknya masing-masing tidak lebih dari 2 km. Kebiasaan mereka nyekar setiap Kamis sore setiap minggu sampai kepada ziarah kubur sekali setahun (biasanya di sekitar Idul Fitri) tak pernah mereka lalaikan untuk leluhur di bukit Ponan.Lebih-lebih dengan adanya makam Haji Batu’  yang merupakan tokoh dan sesepuh panutan. Makamnya dikeramatkan dan  banyak orang yang bernazar mohon sesuatu di bukit Ponan.

         Di lereng sebelah barat bukit Ponan ada pula kubur keramat karena aneh. Siapa yang terkubur jazadnya disitu tidak ada yang tahu. Namanya kubur Metik. Dalam bahasa Samawa metik berarti melenting. Dinamakan demikian karena setiap disirami air, rerumputan dan batu-batu kerikil di atasnya menggeliat dan menepis air yang kena daun rerumputan dan ranting-ranting kecil. Demikian pula bila ditanamkan dua ruas kayu yang panjangnya seukuran. Maksudnya untuk menanyakan kesuksesan atau keberhasilan suatu keinginan. Beberapa saat kemudian, bila suatu rencana baik akan berhasil maka kayu tersebut tidak akan sama panjang. Kalau salah satunya makin memanjang artinya akan berhasil, sedangkan sebaliknya bila semakin memendek salah satunya, berarti tidak akan berhasil.

       Makam Haji Batu’ yang berada tepat di puncak bukit, memiliki kharisma tersendiri. Pada mulanya masyarakat tua Bekat menganggap makam tersebut sebagai

perantara untuk memohon keselamatan bagi anak-cucu dan warga pada umumnya. Sehingga terkesan dari sisi kaidah agama Islam sebagai perbuatan syirik. Namun oleh paham masyarakat sekarang ini, makam tersebut hanya dijadikan sebagai tempat yang straregis untuk reuni keluarga, sambil berdoa untuk para leluhur. Dan kebiasaan itu berkembang sampai sekarang setelah melalui beberapa periode regulasi sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat setempat.

       Pesta Ponan yang sekarang ini kita kenal adalah sebuah upacara yang dilakukan oleh masyarakat petani dari ketiga dusun tersebut. Disebut upacara karena memiliki aturan dan tata cara perlakuan tersendiri. Namun dalam masyarakat disebut Lalo ‘ko (lako) Ponan. Lalo artinya pergi atau ziarah, lako (‘ko) artinya ke atau kepada, sedangkan Ponan adalah nama bukit. Nama Ponan juga diterjemahkan yang konon berasal dari kata   po’  yang berarti mangga dan nan yang berarti itu. Jadi, lalo ‘ko Ponan berarti pergi (berziarah) ke Ponan.

       Dengan demikian kita ketahui bahwa ide lalo ko Ponan ini lahir dan didasari oleh adanya kesamaan leluhur dari masyarakat, yang wajib diziarahi setiap tahun. Perjalanan hidup dan kiprah tokoh Haji Batu’ dalam masyarakat menjadi titik sentral penghormatan adalah wajar, karena kehidupan Haji Batu’ yang spektakuler.

Kisahnya menjadi mitos dalam masyarakat dan dikenal oleh banyak orang di seluruh kabupaten. Uniknya, ternyata kisah ini memiliki kemiripan dengan tokoh Haji Kari, makamnya di desa Kerongkeng kecamatan Terano (kecamatan pemekaran dari Kecamatan Empang) di sebelah timur Kabupaten Sumbawa. Ada juga kesamaannya dengan tokoh Haji Ali Batu yang bermakam di Sikur,  Lombok Timur.

 

Mitos Haji Batu’

 

       Ada seorang anak yang bernama Gafar, hidup berdua dengan bapaknya,karena ditinggal mati oleh ibunya. Dia anak yang taat, rajin, hormat dan patuh pada orang tua, suka membantu. Dalam hal bantu-membantu,Gafar tidak pernah mengeluh ataupun pilih kasih. Dia ikhlas tanpa pamrih. Lebih-lebih bagi dirinya sekeluarga bersama ayah.

        Suatu hari Gafar menggantikan ayahnya membajak sawah. Tanpa kenal lelah ia tekun membajak, namun malang tak dapat ditolak. Kerbaunya salah bergerak lalu melampaui pematang. Akibatnya, bajaknya patah karena menghantam pematang, dan Gafar yang masih belia itu terpental dan jatuh terhuyung. Sadar akan kemarahan ayahnya, ia lari cari bantuan. Pada saat yang bersamaan itu, ayahnya datang mendapatkan bajak yang patah sementara kerbau masih terpasang, ia lari pula mencarikan bantuan sambil menenteng parang terhunus. Gafar yang dari kejauhan melihat ayahnya bertingkah seperti itu, justru takut . Ia berlari semakin menjauh, jauh dari pandangan sang bapak, yang lalu menghilang tak tentu rimba.

       Ayah Gafar sedih dan gelisah mencari anaknya, karena di seantero kampung tetangga, di pelosok gunung dan pantai, lembah dan ngarai, sungai dan lautan, Gafar raib bagai ditelan bumi. Bahkan tukang tenungpun ditanyakan, sehingga Gafarpun diputuskan sudah meninggal. Atas keputusan itu, seluruh warga kampung Bekat berbelasungkawa, dengan menyelenggarakan upacara kematian. Pada upacara neras  (Tiga hari meninggal), kerbau pembajaknya pun dipotong untuk menjamu para undangan dan masyarakat.

        Puluhan tahun  berselang ketika orang-orang tidak lagi memikirkan Gafar, datanglah berita dari seorang yang bernama Karim membawa berita bahwa Gafar akan pulang. (Karim ini kemudian dikenal sebagai tokoh yang jazadnya terkubur di makam Kerongkeng kecamatan Terano)

                                               Antara percaya dan tidak, warga masyarakat merasa sedih, bangga dan gembira. Sedihnya, karena bapak Gafar sudah meninggal, yang artinya ia akan menjadi sebatang kara di desa meskipun masih sekampung jumlah paman, bibi dan saudara-saudara sepupunya. Ke rumah manapun ia akan pulang, pintu semua akan terbuka untuknya. Seperti apapun Gafar, karena ia sudah haji di Mekkah, derajatnya dan penghargaan orang menjadi sangat berbeda. Apalagi untuk jodohnya tinggal pilih dan sebut gadis mana yang sesuai mendampinginya. Gafar disambut penuh antusias dan rasa syukur yang tiada terlukiskan di hati seluruh warga.Gafar menceriterakan panjang lebar pengalamannya kepada seluruh warga, dan ceritera in meyebar dari mulut ke mulut  sampai kepada anak cucunya sekarang ini.

       Ketika peristiwa bajaknya patah dahulu, dia berlari tak menentu arah, bagaikan ada yang membimbingnya untuk lari sedemikian cepat. Rasanya tak ingat akan apapun resiko, hampir lupa akan bagaimana bapak dan kerbaunya sepeninggalnya. Bagaikan terbang ia sampai mencebur ke laut, dan mendapatkan dirinya berada pada sarana berlayar. Di tengah samudera luas, Gafar merasa tersangkut pada akar pohon besar menjulang. Di sekitar pohon besar itu banyak sekali batang-batang kayu kering serta bekas-bekas kehidupan manusia, dan bahkan kapal-kapal kayu yang rusak. Di situlah ia menemukan sepeti paku besar, palu dan tali serta sedikit bahan makanan mentah dan kering.

        Mencari tempat berteduh, tempat istirahat yang nyaman dan aman, di atas pohonlah tempatnya, karena terbebas dari terpaan dan terjangan ombak yang mungkin menghanyutkan.  Gafar mendapat akal menancapkan paku-paku besar itu di batang pohon sebagai tangga naik ke puncak. Selamat sampai ke puncak yang terasa rimbun, ia merasa aman. Untuk menjaga diri agar tidak terjatuh, ia mengikat diri pada sebatang dahan, lalu tertidur pulas.Esok paginya ia terjaga, dan mendapatkan dirinya terbawa terbang oleh dahan tempat ia mengikat diri. Rupanya, yang dianggap dahan itu ternyata adalah taji seekor burung raksasa. Orang Sumbawa menyebutnya piyo beri  (burung garuda ?)

         Piyo Beri  terbang tinggi, jauh sampai ke sebuah dataran dan gunung yang maha luas, tiada kelihatan laut sedikitpun, sampai piyo beri menyambar mangsa di padang rumput yang juga maha luas, lebih besar dari Orong-rea di Bekat.

         Ketika piyo beri menyambar itulah, seketika itu pula Gafar terlepas dari ikatannya ditaji piyo beri, tanpa cedera sedikitpun.. Di padang itu, ia melihat berbagai macam binatang aneh. Ada yang buas dan ada pula yang mungkin bisa diburu sebagai bahan makanan. Dari perburuannya itu, ia memasak dengan cara paling sederhana. Mulai dengan membuat api dengan menggosok-gosokkan kayu kering sampai dengan memasak ia lakukan dengan bantuan jambia, parang tradisional yang tidak lepas dipinggang. Memang begitulah didikan lingkungannya, yang menganggap besi (senjata) seperti pisau, parang, atau pangat sebagai saudara kedua dalam kehidupan; terutama bila jalan sendiri, senjata itulah sebagai teman senasib.

      Rupanya masakan daging itu mengundang selera binatang yang bernama parabuaban  sejenis beruang besar, berbulu tebal dan hitam. Melihat gelagat itu, Gafar yang memang berteduh di lubang sebatang pohon besar, selalu waspada dan  berusaha berlindung dari terkaman binatang tersebut. Seperti sudah diduga oleh Gafar, parabuaban menyerangnya  dilubang pohon, namun dengan cekatan Gafar memanfaatkan jambinya. Sekali tikam, parabuaban tak berdaya, rebah dan mati.  Parabuaban lalu dikuliti, dan dijemur untuk kemudian dijadikan sebagai mantel atau atap pelindung ketika panas dan hujan.

      Ketika ia mencari air minum, didapatinya paruh burung yang membantu ketika minum air di sebuah telaga. Ketika Gafar mencoba menciduk air telaga tersebut, ujung-ujung jari Gafar yang kena air, langsung membatu sampai akhir khayatnya.

     Sambil berpayung kulit parabuaban, Gafar berjalan mencari perkampungan yang mungkin ada di sekitar padang. Ia heran melihat semua binatang dan satwa lain berlarian menjauh begitu melihat Gafar. Mungkin takut pada penampilannya yang memakai kulit binatang parabuaban, pikir Gafar. Kegaduhan bianatang dan satwa-satwa itu sampai pada kawanan lembu, sapi dan kambing-kambing penduduk negeri terdekat. Rakyat dan pemimpin negeri menjadi cemas, belum tahu ada apa gerangan penyebab dari kegaduhan dari para satwa.

     Ketika Gafar yang asing dan berpenampilan asing tiba di negeri tersebut (dalam hikayat tidak disebut negeri mana atau apa namanya), langsung dibawa menghadap kepada kepala suku. Kepala suku dan penduduk negeri inilah yang menyelamatkan Gafar, selanjutnya memberikan petunjuk bagaimana ia bisa sampai ke Mekkah. Mekkah adalah negeri asing dambaan semua ummat muslim di dunia, dimana Gafar yang masih belia itu akan berniat menuntut ilmu dan menyempurnakan rukun agama, yaitu menunaikan ibadah hajji.Di Mekkah Gafar memperoleh ketenangan yang pasti, karena siapapun berdoa dan bermunajat di depan Ka’bah, di tempat-tempat mustajab sekitar Ka’bah, pasti doanya akan segera terkabul.

      Pada masa yang yang hampir bersamaan, rupanya orang yang bernasib sama dengan Gafar, ada yang bernama Karim dari desa Kerongkeng (waktu itu masuk dalam wilayah kecamatan Empang), Sumbawa  dan Ali dari Sikur Lombok Timur. Bertahun tahun mereka tekun berguru dan belajar, khususnya ilmu agama. Mereka berhasrat untuk pulang kampung mengamalkan dan menyebarkan pengetahuannya. Di samping itu Gafar ingin beramar-makruf nahi mungkar, berdakwah untuk memperkuat keimanan dan ketaqwaan kepada Allah  sebagai salah satu kewajiban setiap ummat Islam, terutama di kalangan keluarganya.

     Kisah kepulangannya sungguh mengherankan, karena baru saja berita keberadaan Gafar di Mekkah sampai ke pihak keluarga, dan Gafar memang sudah berniat untuk pulang, tiba-tiba dia sudah berada di dalam kampung Bekat. Padahal pelayaran kapal laut waktu itu dari Arab sampai ke Indonesia makan waktu sekitar tiga bulan. Kemajuan transportasi pada waktu itu memang sangat ketinggalan dibandingkan dengan sekarang. Hal inilah yang semakin mencengangkan seluruh warga.

     Kehadiran Gafar di kampung membawa berkah tersendiri, karena keamanan dan kemakmuran menjadi semakin meningkat. Kemakmuran terindikasi dari hasil panen yang berlimpah, kelaparan dan kemiskinan dapat teratasi, hewan ternak semakin beranak pinak, dan semakin banyaknya keluarga dan warga yang mampu menunaikan ibadah haji setiap tahun. Kharisma Gafar semakin tinggi, namun ia biasa saja dipanggil dengan sebutan Haji Batu’. Panggilan itu disebabkan karena ujung jarinya yang membatu, serta hidupnya tetap saja sederhana. Kesederhanaan itu terlihat mulai dari pola hidupnya sampai kepada tempat tinggalnya yang hanya sebuah bale pampang (rumah gubuk kecil).

      Ketika Haji Batu’ wafat, warga sepakat menguburkannya di puncak bukit Ponan, sebagai symbol penghargaan warga terhadapnya. Meskipun Haji Batu tidak memiliki silsilah  keluarga sampai ke cucu-buyutnya sekarang ini, warga Bekat merasa yakin bahwa dirinya adalah salah satu keturunan Haji Batu’.

      Perkembangan selanjutnya, makam bukit Ponan menjadi keramat, sehingga setiap selesai musim tanam, para warga datang beramai-ramai ke Ponan untuk berdoa memohon keberhasilan panen di kubur Haji Batu’. Sekarang ini sudah menjadi terkenal dengan nama Pesta Ponan yang dilakukan oleh warga dusun Poto, Lengas dan Melili.

       Pada saat pesta ini berlangsung, banyak kerabat dan keluarga dari desa-desa lain berdatangan. Di samping membantu persiapan pesta, mereka juga mengharapkan berkah dari upacara pesta Ponan. Karena mereka juga merasa sebagai bagian dari keluarga, yang ratusan tahun lalu kawin-mawin ke luar dari wilayah Bekat.

       Salah seorang pemuka masyarakat, mantan Kepala Desa Poto, A. Wahab Syahabuddin Zakariah, menyusun syair hikayat Haji Batu’ yang dapat kita nikmati pada suplemen tulisan ini, sebagai bahan pembanding hikayat.

 

Maksud  penyelenggaraan Pesta Ponan.

 

     Para leluhur di Bekat sudah menyadari betapa pentingnya suatu keutuhan dan keharmonisan kekeluargaan dan generasi penerus, sehingga perlu dijaga. Strategi menjaganya adalah dengan menyelenggarakan upacara sebagai media konsolidasi konflik. Pesta ini menjadi sarana untuk berkumpul dan berdoa untuk kesuburan tanaman, minta hujan agar panen berhasil baik di sawah maupun di ladang . Syarat terkabulnya doa, adalah keharmonisan antar sesama dalam keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitar. Dengan demikian konsolidasi dan resolusi meredam konflik antar tiga dusun menjadi sangat efektif.

      Pesta Ponan ini sudah sejak lama diselenggarakan, bahkan mungkin jauh sebelum Haji Batu’ masih hidup.Perkiraan ini berdasarkan sikap dan keyakinan masyarakat terhadap uapacara ini, sehingga merupakan adat istiadat yang sangat berkesan bagi mereka.

      Apabila pesta Ponan tidak diadakan, petani sawah merasa was-was akan keberhasilan panennya. Dan mereka merasa kehilangan media dalam menjaga keutuhan keturunan dan kekerabatan Haji Batu’.Kalau saja pesta ini terlambat atau pun dilaksanakan pada waktunya (sehabis musim tanam) tetapi ada pelanggara-pelangaran pantangan, maka dampaknya akan kelihatan sekali. Misalnya saja padi memerah, terserang wereng, dapat dipastikan bahwa ada pelanggaran pantangan. Karena itu mereka harus mengulangnya sekali lagi meskipun hanya dengan sajian bubur dan santan. Tanpa disadari berangsur-angsur hamanya hilang, padinya jadi subur.

       Kejadian gagal panen ini sudah begitu sering mereka rasakan, sehingga mereka sangat was-was, antara berani dan tidak untuk meninggalkannya.

Di Ponan warga ketiga kampung mengadakan semacam reuni melalui media Pesta Ponan. Mereka merasa seketurunan, sekeluarga  yang dengan kebersamaan di bukit Ponan mereka berdoa mengharapkan ampunan,  perlindungan dan rakhmat/ barakah dari Maha Pencipta, Allah swt. Mustajabnya doa dalam pesta ini menurut masyarakat cukup nyata, baik dari curahan hujan, maupun kemudahan dan limpahan rezeki. Kadang-kadang pada saat acara berlangsung, hujan lebat segera turun dan setelah tiga hari, padi menjadi hijau subur kembali.

 

Tehnis penyelenggaraan Pesta Ponan.

 

     Berdasarkan pengalaman dan keterangan dari beberapa pemuka masyarakat baik di Poto, Melili maupun Lengas, bahwa waktu penyelenggaraan pesta adalah segera setelah musim tanam berakhir. Sampai dengan tahun terakhir ini, belum pernah bisa dipastikan tanggal, hari bulan yang pasti, kecuali segera setelah musim tanam. Artinya setelah seluruh warga selesai menanam padi di sawah, maka ketika itulah ketentuan hari ditetapkan. Yang jelas pasti antara Januari sampai dengan Maret setiap tahun. Tergantung dari awal curah hujan yang memungkinkan untuk mulai menanam. Uniknya, penentuan waktu ini tidak diperlukan musyawarah resmi antar pemuka masyarakat masing-masing dusun. Bisa saja inisiatif penentuan waktu datang dari salah satu pemuka masyarakat di salah satu dusun lalu penentuan itu menyebar dari mulut ke mulut. Yang penting sudah selesai menanam padi, maka semua warga akan menyambutnya dengan penuh antusias.

       Sehari sebelum acara berlangsung, para tamu dan kerabat sudah berdatangan ke tiga dusun tersebut. Bahkan para kerabat dari desa-desa luar wilayah Bekat terutama wanitanya sudah jauh hari diharapkan datang agar bisa membantu membuat persiapan upacara.

       Malam hari menjelang esoknya acara, para pemuda desa mengadakan pegelaran kesenian untuk hiburan warga, lebih-lebih diperuntukkan bagi para ibu yang sepanjang malam itu masih asyik membuat jajan dan panganan untuk sajian pesta.

       Meskipun mereka relatif kurang istirahat dan kurang tidur semalam, pagi harinya mereka ceria,  berbondong-bondong mendatangi bukit Ponan. Tua - muda, besar – kecil, laki-perempuan, kecuali orang tua-tua dan gadis yang sedang menstruasi saja yang tinggal di dalam kampung.

         Di bukit Ponan warga duduk berbanjar mengitari makam Haji Batu’. Para tamu dan warga masyarakat setempat berbaur tanpa batas. Tiada keistimewaan antara si petani dengan si pejabat. Semuanya duduk bersila di atas tanah beralaskan rumput dan bahkan ada yang duduk beralaskan sandal, batu atau daun kayu. Para ibu yang mempersiapkan jajan, berada di bagian belakang, menempati baruga-baruga yang dibuatkan sesuai dengan arah dan asal kampung masing-masing.

         Setelah tamu – tamu kehormatan juga datang sebagai saksi seperti Kepala Desa, Bapak Camat dan Kepala Dinas, juga kemungkinan Ketua DPRD, maka dimulailah upacara ini dilaksanakan dengan acara pembukaan yaitu mengucapkan ucapan terima kasih kepada mereka yang datang dan dilanjutkan dengan mengucapkan Doa Tahlilan oleh petugas yaitu doa untuk keselamatan dan dilanjutkan dengan pengenalan sejarah maupun mitos dengan menceriterakan asal – usul kuburan Haji Batu dengan berbahasa setempat yaitu Bahasa Samawa. Pada saat itu warga masyarakat begitu antusiasnya mendengarkan ceritera yang memiliki nilai sejarah dan mitos tersebut yang disampaikan oleh salah seorang pemuka desa , dan dilanjutkan dengan sambutan dari pejabat – pejabat pemerintahan yang hadir pada acara tersebut.Upacara dilanjutkan dengan salam – salaman dari semua orang yang ada di sana sambil berpesta yaitu memakam makanan yang telah disediakan. Siapapun bisa makan tanpa terkecualinya, lebih – lebih kepada orang yang pernah diajak konflik. Semakin banyak kita makan malah orang yang punya  makanan makin senang , asalkan kulitnya dikembalikan pada yang punya. Setelah perutnya kenyang sisa makanan yang masih ada diharuskan oleh masyarakat yang menyediakan untuk dibungkus dibawa pulang oleh seluruh orang yang datang ke sana sehingga pada waktu pulangnya juga membawa bingkisan.

        Upacara yang terakhir dilanjutkan dengan membuang sampah makanan yang dimakan pada waktu pesta tadi ke sawah oleh yang empunya sawah masing – masing atau ada yang di bawa ke rumah. Sesampainya di rumah dicampur (direndam) dengan air, nanti atau besoknya akan dibawa ke sawahdan dibuang untuk menyuburkan tanaman, dan mengusir hama khususnya terhadap tanaman padi. Demikianlah upacara Pesta Ponan yang dilaksanakan di Bukit Ponan, yang dapat memberi petunjuk sikap – sikap arif dalam kehidupan pertanian. 

 

Persiapan dan Proses Acara

 

          Setelah selesai tanam padi, masyarakat sudah mulai mempersiapkan penyelengaraan upacara Pesta Ponan. Begitu suatu keluarga telah selesai tanam padi, kemudian mereka mempersiapkan segala keperluan terutama keperluan untuk membuat jajanan / makanan kecil yang akan dipakai dalam upacara Pesta Ponan. Dalam fase ini kegiatan banyak dilakukan di tingkat keluarga masing –masing. Dalam satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak – anaknya, mereka sibuk dengan pekerjaan masing – masing. Seorang ayah dan anak laki – laki mereka akan mencari kayu bakar untuk memasak makanan.Setelah selesai mengumpulkan kayu bakar maka mereka akan memetik buah kelapa yang ada di kebun mereka serta memetik buah pisang dan mengambil daun bambu, daun kelapa dan daun pisang. Bahan persembahan ( sesajen ) diupayakan berasal dari daerah lokal. Demikian pula bahan untuk memproses bahan. Para anggota, seperti ibu dan anak perempuan lebih banyak bekerja di dapur untuk mempersiapkan bahan – bahan yang akan dibuat makanan kecil tersebut. Dari penelitian yang dilakukan, rata – rata setiap keluarga memerlukan bahan – bahan yang terhitung tidak sedikit. Sebagai contoh satu keluarga memerlukan 12 kg beras ketan untuk membuat lepat dan petikal; 6 kg beras untuk membuat buras; masing – masimg 1 kg ketan untuk membuat batar orong, onde – onde dan kiping; 3 kg bahan untuk membuat dange. Dengan demikian mereka memerlukan 22 kg bahan untuk membuat makanan tersebut. Kelapa yang diperlukan untuk membuat semua makanan tersebut adalah 22 butir, karena untuk mengolah 1 kg bahan diperlukan 1 butir kelapa.

         Setelah  semua bahan yang diperlukan terkumpul, maka kemudian diolah secara bersama-sama dalam satu rumpun keluarga. Acara memasak ini kelihatannya serentak dilakukan oleh seisi kampung, mereka tenggelam dalam kesibukan persiapan. Di tiap rumah dan halaman, kepulan asap tungku menyeruak ke setiap penjuru.

         Pada hari pesta, mulai jam 08.00 warga sudah kelihatan beramai-ramai menyusuri pematang sawah menuju ke bukit Ponan dari tiga penjuru kampung. Waktu berangsur menanjak ke pukul 09.30, masih banyak warga dan para tamu serta orang-orang yang hanya sekedar ingin menyaksikan berdatangan ke bukit Ponan. Mereka yang terlambat datang seperti itu adalah para pemuda dan pelajar yang  berminat pada event budaya.

          Kalaupun ada beberapa petugas yang mengatur tempat dan tata upacara, sesungguhnya mereka tidak terstruktur sebelumnya. Ketika para pemuka dari masing-masing dusun sudah hadir dan bertemu di Ponan, barulah mereka berembuk menentukan siapa melakukan apa.

          Acara diawali dengan pembukaan, kemudian dilanjutkan dengan uraian, maksud, riwayat, hikmah , serta tujuan penyelenggaraan Pesta Ponan oleh petugas dari pemuka adat yang ditunjuk tiga desa tersebut. Setelah selesai penuturan dari pemuka adat tentang Pesta Ponan, maka acara dilanjutkan dengan sambutan dari pejabat pemerintahan. Pada intinya isi sambutan tersebut mengharapkan acara ini dapat lebih meningkatkan tali silaturrahmi, solidaritas, kebersamaan, dan keutuhan diantara penduduk yang ada di Desa Poto. Dan agar penduduk yang ada di Desa Poto dapat melestarikan acara Pesta Ponan ini sebagai salah satu budaya nenek moyang yang dapat menjadi aset wisata yang tidak saja mampu menghadirkan wisatawan lokal ( domestic ), tetapi wisatawan manca negara. Setelah selesai memberi sambutan, maka acara dilanjutkan dengan pembacaan doa secara Agama Islam.Para hadirin yang hadir pada acara tersebut dengan khusuk mengikuti doa yang dipimpin oleh salah satu tokoh agama dari tiga dusun tersebut. Berbagai doa dipanjatkan ke hadirat Allah, khususnya bagi keberhasilan panen yang sangat diharapkan oleh masyarakat.

           Prosesi ritual selanjutnya adalah acara sesunguhnya dari Pesta Ponan yaitu “berpesta” menyantap makanan kecil atau jajanan yang telah dibawa dari rumah. Berbagai makanan kecil yang ditempatkan dalam wadah diedarkan oleh ibu – ibu kepada bapak – bapak yang duduk di dekat makam Haji Batu. Makanan yang diedarkan tersebut kemudian diletakkan di depan peserta upacara. Setelah semua makanan terbagi merata maka dimulailah acara menyantap makanan bersama – sama. Pada saat ini dengan semangat yang menggebu-gebu, para peserta upacara menyantap makanan yang telah ada di depan mereka. Semakain lama ritme memakan makanan kecil semakin cepat sampai akhirnya mereka merasa kenyang kemudian memasukkan makanan yang masih ada ke dalam tas yang disediakan untuk dibawa pulang. Sebelumnya mereka mengumpulkan pembungkus makanan yang akan mereka buang ke sawah pada waktu mereka kembali ke rumahnya masing-masing. Konon menurut penduduk di sana, bungkus makanan yang dibuang ke sawah itu dapat mencegah datangnya hama tanaman serta dapat menyuburkan tanah sawah mereka.

       Dengan rasa tulus para ibu-ibu mempersilahkan para peserta untuk mencicipi makanan yang dibuatnya. Jika ada para peserta yangn tidak mengambil makanan yang dibuatnya, maka ibu-ibu itu introspeksi diri. Lebih-lebih kepada orang / peserta yang pernah diajak konflik oleh keluarganya.

        Kurang lebih pukul 12.00 Wita, upacara Pesta Ponan telah selesai.Penduduk dan para tamu peserta upacara berbondong –bondong pulang ke rumah mereka masing-masing melewati pematang sawah yang membelah hamparan sawah milik masyarakat Desa Poto. Harapan besar digantungkan oleh masyarakat Desa Poto akan suatu panen yang melimpah dan konflik sudah selesai yang disaksikan oleh warga dan leluhur.

 

Pantangan – Pantangan

 

           Upacara Pesta Ponan merupakan upacara magis-religius yang banyak bersingungan dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada sesuatu yang dirasakan memiliki kekuatan gaib, misalnya makam Haji Batu dan kuburan Metik. Sebagai suatu upacara tradisional yang bersifat magis religius, upacara Pesta Ponan menyaratkan adanya kesucian dari para peserta upacara tersebut. Dengan demikian ada beberapa pantangan yang harus dilakukan serta larangan yang harus ditaati oleh para peserta upacara ini. Pantangan-pantangan dalam dalam bentuk larangan dalam bentuk larangan dalam upacara ini adalah sebagai berikut:

  1. Para gadis tidak boleh datang ke acara ini
  2. Wanita haid tidak boleh mengikuti upacara ini
  3. Semua persembahan memasaknya direbus
  4. Di tempat penyelenggaraan upacara ( Bukit Ponan ) tidak boleh berkata kasar dan kencing sembarangan.

                                             Apabila pantangan tersebut dilanggar maka akan menimbulkan berbagai peristiwa  yang merugikan masyarakat misalnya, padinya menjadi merah, kurang subur sehingga berakibat gagal panen. Kerusakan padi yang ditimbulkan karena pelanggaran ini dapat diperbaiki dengan cara menyelenggarakan upacara lagi, namun dengan cara yang lebih sederhana yaitu dengan membuat bubur dan santan yang disertai dengan doa minta ampun kepada Tuhan di kuburan Haji Batu di Bukit Ponan.

    Dari keempat pantangan tersebut, hanya pantangan pertama yang dilanggar. Masyarakat Bekat sangat menyadari, bahwa dalam rangka menyosialisasikan Upacara Pesta Ponan tidak cukup dengan lisan, melainkan harus memperlihatkan kenyataan. Para generasi muda diikutsertakan di tempat upacara. Menurur informasi diijinkan para gadis melihat langsung penyelenggaraan upacara dimulai tahun 70-an.

 

Jenis – Jenis Sajian Pesta Ponan

 

      Sesuai dengan namanya yaitu Pesta Ponan, maka yang menjadi sentral adalah beraneka makanan yang menjadi santapan para peserta upacara pada waktu selesai berdoa di Bukit Ponan. Setiap keluarga di Desa Poto membuat aneka makanan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka masing-masing, yang cukup mampu tentu akan membuat makanan yang banyak, sedangkan yang kurang mampu membuat makanan yang tidak banyak, namun yang pasti setiap keluarga pasti membuat aneka makanan tersebut. Ada tujuh makanan pokok yang harus ada atau tersedia dalam upacara tersebut yaitu: buras, petikal, lepat, topat (ketupat), serapat, batar orong , onde-onde, dan kiping. Dewasa ini ada jenis makanan yang juga dibuat untuk disantap pada waktu upacara yaitu kolak dan barongko.

        Makanan yang disajikan semuanya terbuat dari hasil bumi masyarakat Desa Bekat, yaitu semuanya terbuat dari beras, beras ketan, kelapa, pisang, dibungkus dengan daun pisang, daun kelapa dan bambu. Semua makanan tersebut cara memasaknya tidak boleh digoreng dan dibakar melainkan direbus,karena merebus identik dengan hujan.Dan tiap jenis makanan memiliki arti dan makna tersendiri. Adapun jenis dan teknik pembuatan makanan kecil tersebut adalah:

  1. Buras, dibuat dari beras yang dicampur dengan parutan buah kelapa lalu dibungkus dengan daun pisang bentuknya segi empat. Teknik pembuatannya adalah sebagai berikut: beras direndam, dicampur dengan parutan kelapa dan garam kemudian dicampur dan dibungkus, diikat, direbus.
  2. Petikal, dibuat dari beras ketan yang dicampur dengan parutan kelapa kemudian dibungkus dengan janur ( daun muda dari pohon kelapa ),bentuknya seperti bantal. Teknik pembuatannya adalah sebagai berikut: beras direndam, parutan kelapa dan garam dicampur, dibungkus , diikat, kemudian direbus.
  3. Lepat, bahannya sama dengan petikal tetapi parutan kelapa diganti dengan santan, kemudian dibungkus dengan daun pisang, bentuknya segi empat. Teknik pembuatannya sebagai berikut : ketan direndam, dicampur dengan parutan kelapa dan garam, kemudian dibungkus dengan daun pisang, selanjutnya direbus.
  4. Topat ( ketupat ), terbuat dari beras yang dibungkus daun kelapa yang berbentuk trapezium. Teknik pembuatannya sebagai berikut : beras direndam, dimasukkan ke dalam kulit ketupat, kemudian direbus.
  5. Serapat, terbuat dari beras yang dibungkusn daun bambu berbentuk segitiga. Teknik pembuatannya sebagai berikut : beras dicampur garam, dibungkus, kemudian direbus.
  6. Batar Orong dan onde – onde dibuat dari beras ketan, bentuknya bulat. Teknik pembuatan Batar Orong sebagai berikut: ketan direndam, ditumbuk hingga jadi tepung, dicampur dengan air, dibuat berbentuk bulat sebesar kelereng, kemudian direbus.Teknik pembuatan onde-onde adalah ketan direndam, ditumbuk hingga jadi tepung, dicampur dengan air dibuat berbentuk bulat memanjang seperti ulat, kemudian direbus.
  7. Kiping, terbuat dari tepung ketan yang diberi garam. Teknik pembuatannya adalah tepung ketan dicampur garam dan sedikit air. Kemudian dibuat berbentuk bulat, dan dipanggang di atas wajan tanah.
Beri Komentar
Komentar baru terbit setelah disetujui oleh admin
CAPTCHA Image